Apa Itu Riba?
Secara bahasa, riba berarti tambahan. Dalam istilah syariah, riba adalah tambahan dalam transaksi yang tidak dibenarkan oleh hukum Islam, khususnya dalam utang piutang dan jual beli barang-barang tertentu.
Riba diharamkan secara mutlak dalam Islam, berdasarkan:
QS. Al-Baqarah: 275–279
Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan saksi nya. (H.R Muslim)
Jenis-Jenis Riba
1. Riba Fadhl , Tambahan dalam pertukaran barang sejenis, tapi tidak setara timbangannya atau ukurannya.
Contoh: Menukar 1 kg gandum kualitas rendah dengan 1,2 kg gandum kualitas tinggi.
2. Riba Nasi’ah, Tambahan karena penundaan pembayaran atau penambahan waktu. Ini yang paling sering terjadi dalam utang piutang.
Contoh: Pinjam Rp1 juta, dikembalikan Rp1,2 juta karena tempo mundur.
3. Riba Qardh, Tambahan yang disyaratkan dari pinjaman uang tunai.
Contoh: Pinjam uang ke teman dengan syarat harus dikembalikan lebih banyak, walau tanpa jasa.
Pandangan Ulama tentang Bunga Bank!
Ulama yang Membolehkan Bunga Bank (dengan penjelasan dan ketentuan)
1. Syaikh Mahmud Syaltut (Rektor Al-Azhar, Mesir), Dalam Fatwa-nya, beliau membolehkan bunga tetap atas simpanan sebagai "imbalan jasa simpanan" (ujrah), bukan riba.
2. Syaikh Dr. Muhammad Abduh, Tokoh pembaharu dari Mesir, melihat bunga bank tertentu bisa dibolehkan jika tidak menzalimi dan tidak eksploitasi.
3. Syaikh Rasyid Ridha, Murid Muhammad Abduh. Membolehkan bunga kecil yang tidak menindas dan menjadi alat bantu ekonomi masyarakat.
4. Sebagian anggota Dewan Fatwa Al-Azhar (awal abad ke-20), Ada sebagian ulama yang menganggap bunga bank tidak identik dengan riba karena kondisi ekonomi modern.
Analisis saya
Dalam perdebatan tentang bunga bank, saya memilih untuk berada di posisi netral dan moderat. Saya memahami bahwa para ulama memiliki argumen kuat di kedua sisi.
Sebagian besar ulama dan lembaga seperti MUI dan Majma’ al-Fiqh al-Islami mengharamkan bunga bank karena dianggap sebagai bentuk riba nasi’ah, yaitu tambahan dalam utang yang dilarang dalam Al-Qur’an. Mereka menilai bahwa meskipun namanya berbeda, hakikat bunga tetap riba dan berpotensi menzalimi.
Namun, ada pula ulama kontemporer seperti Mahmud Syaltut, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang membolehkan bunga dalam konteks tertentu, seperti bunga simpanan yang tidak merugikan dan dianggap sebagai imbalan jasa. Mereka menekankan pentingnya melihat konteks sosial ekonomi modern.
Bagi saya, perbedaan ini menunjukkan bahwa fikih bersifat dinamis. Saya tidak ingin menggeneralisasi seluruh sistem bunga bank sebagai haram atau halal secara mutlak. Yang penting adalah melihat akad, transparansi, dan dampaknya terhadap keadilan.
Saya juga mendukung keberadaan sistem keuangan syariah sebagai solusi alternatif, tanpa menutup ruang dialog terhadap praktik keuangan modern yang tidak menyalahi prinsip keadilan.
#Ilmu itu asik kalau di ulik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar